Berita dibawah diambil dari
www.Gatra.com: http://www.gatra.com/artikel.php?id=93835
Pungli Berbalut Rekomendasi
SEBUT saja namanya Nur Ahmad. Ayah satu anak ini seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) yang baru usai menikmati cuti. Selama ini, Nur bekerja pada sebuah biro perjalanan di Arab Saudi. Tugasnya mengurus kebutuhan kamar hotel, transportasi, dan makanan-minuman bagi para jamaah umrah. Kerjanya mondar-mandir antara Mekkah dan Jeddah.
Dua bulan di rumah dirasa sudah cukup baginya untuk melepas rindu pada anak dan istri tercinta di Purwokerto, Jawa Tengah. Rabu pekan lalu, tiba saatnya bagi pria asal Bandung berumur 30 tahun itu kembali terbang ke Jeddah. Seperti TKI umumnya, menjelang berangkat, Nur harus mengurus segala kelengkapan, seperti tiket pesawat terbang dan surat rekomendasi keberangkatan kembali ke Arab Saudi dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans).
Seperti tahun lalu, sebelum berangkat, ia menghubungi perusahaan jasa pengerah tenaga kerja Indonesia (PJTKI), untuk mengurus rekomendasi keberangkatannya. Tapi ia terkejut saat disodori harga Rp 1,5 juta untuk secarik surat itu. Padahal, tahun lalu ia "hanya" kena Rp 500.000. ''Saya tak habis pikir," katanya kepada Gatra. Tanpa bekal surat itu, maskapai penerbangan tak mau mengeluarkan tiket untuknya. Imigrasi bandara pun pasti menolaknya.
Alumnus Pondok Pesantren Modern Gontor itu merasa terusik. Ia tidak percaya dengan kenaikan tarif tiga kali lipat itu. Maka, Nur pun mengecek tarif "surat sakti" itu di kantor Depnakertrans. Ia disarankan mengurusnya di Balai Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BP2TKI), Pengawasan Penempatan TKI (P2TKI), di Jalan Penganten Ali Nomor 17, Ciracas, Jakarta Timur.
Halaman dan tempat parkir kantor BP2TKI luas. Bentuk bangunan kantornya lebih menyerupai pendopo, aula terbuka. Memasuki kantor, ia kebingungan. Bagaimana tidak, di situ tak ada papan petunjuk prosedur pengurusan surat rekomendasi. Yang didapatinya orang-orang hilir mudik menenteng map dan para petugas Depnakertrans yang sibuk memberikan "pengabdian" pada TKI.
Nur tak harus lama menunggu. Seorang petugas berambut pendek berperawakan subur berbaju cokelat gelap, mirip baju seragam pegawai Depnakertrans tapi polos tanpa atribut, menghampirinya. "Ada yang bisa kami bantu, Pak?" tanya sang "petugas". Nur mengutarakan maksud kedatangannya. Tanpa basa-basi lagi, "petugas" itu mengeluarkan lembaran formulir dari saku celananya dan mempersilakan Nur mengisinya. Saat itulah si oknum berbisik bahwa biaya pengurusannya ''hanya" Rp 750.000.
Sang petugas merincinya. ''Empat puluh dolar (sekitar Rp 360.000) untuk asuransi," katanya. Lima belas dolar (Rp 135.000) untuk administrasi. ''Lebihnya, ya, untuk uang rokok, Pak," ujarnya. Obrolan pun berlangsung. Dari perbincangan itu, Nur Ahmad tahu bahwa si "petugas berseragam" itu ternyata calo, yang biasa menghubungkan petugas PJTKI dengan pegawai kantor BP2TKI, untuk mengurus surat rekomendasi.
Dari cerita si "oknum berseragam" itu diketahui, memang banyak TKI yang tak mau repot mengurus surat rekomendasi. Mereka memakai jasa PJTKI, dan dipungut biaya Rp 1,5 juta hingga Rp 2,5 juta. ''Alamak, ini jelas pemalakan namanya,'' kata Nur, jengkel.
Berapa tarif resminya? ''Tak ada biaya mengurus surat rekomendasi keberangkatan bagi TKI yang masih terikat kontrak kerja di luar negeri,'' kata Ade Adam Noch, Direktur Promosi dan Penempatan, Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan TKI, Depnakertrans. Kebijakan ini diterapkan sejak akhir tahun lalu. Ade menjamin, proses pengurusannya bisa dilakukan dengan cepat, dalam beberapa menit. Toh, prakteknya, masih saja terjadi pungutan liar (pungli) berkedok surat rekomendasi.
Karena itu, pihak Depnakertrans kemudian menerbitkan Surat Edaran Nomor 615 tentang Pedoman Pelayanan Cuti TKI, 27 Maret lalu. Isinya menegaskan lagi, tak ada biaya pengurusan surat rekomendasi bagi TKI yang cuti. Surat itu pun mengatur biaya untuk TKI yang habis masa kontraknya dan mau memperpanjang kerja di luar negeri. "Besarnya US$ 15. Uang itu masuk ke Departemen Keuangan sebagai pendapatan negara bukan pajak," katanya. Di luar itu, TKI membayar asuransi US$ 40 untuk TKI di Arab Saudi dan Rp 400.000 untuk TKI non-Arab Saudi. "Kalau ada penyimpangan, silakan lapor ke kami, tentu akan kami proses," ia menambahkan.
Dengan status sebagai TKI cuti kerja, seharusnya Nur tak perlu membayar "surat sakti" itu. Tapi, saat mengurus surat pada Senin dua pekan lalu, ia tetap harus membayar US$ 15. Lalu, masuk ke mana duit itu? Nur menerima bukti pembayarannya berupa slip Bank Rakyat Indonesia (BRI), dengan keterangan "biaya administrasi". Di kantor itu tak ada kantor cabang atau kas BRI. Uang US$ 15 itu setara Rp 135.000. Tapi coba Anda kalikan dengan jumlah pemohon surat rekomendasi yang tiap harinya di atas 100 orang.
Sudah begitu, mengurus sendiri surat rekomendasi ternyata tidak bisa cepat. Itulah yang dialami Muryati, TKW asal Malang, Jawa Timur. Ia harus menginap semalam di masjid BP2TKI, menunggu keluarnya surat. Apakah petugas di BP2TKI Ciracas lebih memprioritaskan calo dan petugas PJTKI yang membawa berkas permohonan dalam jumlah besar? ''Kami tidak melayani surat rekomendasi bagi TKI yang mau kembali ke luar negeri," kata Djupri Noor, Kelapa BP2TKI Ciracas. "Kami hanya melayani pemberian surat bebas fiskal bagi TKI," ia menambahkan.
Lho? Menurut Djupri Noor, surat rekomendasi bagi TKI memang pernah diterbitkan BP2TKI. Namun sejak enam bulan lalu dihapuskan. Toh, Djupri mengakui, kantornya masih ketempatan petugas dari Depnakertrans Pusat yang biasa menangani penerbitan surat rekomendasi. Mereka menumpang di salah satu ruangan berukuran 5 x 5 meter.
Turiman, petugas berseragam Depnakertrans yang menempati ruangan itu, menyatakan bahwa ia masih diberi kesempatan oleh Kepala BP2TKI Ciracas menempati ruangan hingga April ini. Sejak 14 Januari lalu, proses pembuatan rekomendasi cuti sudah dialihkan ke Terminal III Bandara Soekarno-Hatta. Tapi, menurut Turiman, masih saja ada TKI yang nyasar ke gedung BP2TKI (ruangan tempat pembuatan rekomendasi cuti) itu. "Kasihankan, daripada harus ke bandara lagi," katanya.
Walhasil, TKI cuti seperti Nur Ahmad kena palak Rp 135.000. Itu setara dengan ongkos taksi dari Ciracas ke Bandara Soekarno-Hatta, tak termasuk karcis tol.
Irwan Andri Atmanto, Astari Yanuarti, Deni Muliya Barus, dan Nordin Hidayat
[Ekonomi, Gatra Edisi 23 Beredar Senin, 17 April 2006]